
hm.. sepertinya saya termasuk golongan ini, saya pribadi menolak, tapi saya juga bosan memperdebatkannya, apalagi dengan segala ketidakpuasan saya dengan cara pikir orang-orang dipemerintahan. Toh kalau tuan-tuan "perwakilan" itu ber-otak harusnya tahu sendiri lah harus bagaimana.
I know.., kalian mungkin tidak sependapat dengan penolakan ini (maka itu dipersilahkan memberikan komentar), namun yang ingin dikemukaan disini bukanlah masalah menolak atau tidak, persoalan itu sepenuhnya saya serahkan pada hati kalian masing-masing.
Justru yang menarik dari munculnya masalah ini adalah argument yang dikemukakan, yang jelas dua kubu (atau mungkin tiga?) ini biasanya berlindung pada norma agama, norma sosial, dan mengagungkan haknya sebagai manusia. Padahal jelas sekali kalau kita harus merangkainya sebagai satu kesatuan, bukan terpisah-pisah. Tapi dasar manusia, kita paling suka mencari celah untuk menggunakan bagian yang menguntungkan kita saja. Maksud saya, kita sering berganti peran kadang sebagai yang alim, namun kadang menjadi seorang yang selalu ikut arus modernisasi, walau jelas tidak diterima norma agama. Bunglon, ya.. kita agak-agak mirip bunglon memang.
Fenomena lainnya adalah, kita sering membandingkan sesuatu dengan yang sama jeleknya, contohnya kenapa PLAYBOY? padahal majalah/tabloid lainnya sudah beredar dan mungkin lebih "parah" (seperti lipstik, excotica) dari PLAYBOY Indonesia (PB-id) yang isinya sendiri belum ketahuan seperti apa. Ah.. harusnya orang DPR itu sudah tahu isinya seperti apa, toh apa susahnya meminta ke pada redaksi PB-id sample dari majalah yang akan terbit itu.
Kenapa PLAYBOY? yang katanya untuk mendapatkannya harus menjadi member terlebih dahulu dan harganya sudah pasti tidak semurah, dari tablod yg beredar dengan harga under "10.000" rupiah?
Kenapa mesti majalah? padahal di internetpun bisa didapatkan dengan mudah, kenapa ... dan kenapa ..., sayangnya selalu dibandingkan dengan yang tidak lebih baik.
Coba misalkan, kita beranggapan dengan munculnya kasus PB-id ini, maka pemerintah bisa menyadari dan cepat membenahi "kecolongan"-nya dengan mereview majalah/tablod sejenis. Dan kenapa majalah, toh di internet banyak, entah "pintar" atau "bodoh" pertanyaan semacam ini, jelas internet lebih sulit diatur karena sifatnya yang global dan mudahnya beraksi sebagai anonim, justru melaui media yang sedang kencang digunjingkan ini, majalah akan lebih mudah diatur penerbitannya, sama seperti halnya pengaturan tayangan televisi.
Masalah adanya majalah yang di"anggap" sejenis dengan PB-id telah beredar, anggap itu sebagai suatu "kecolongan" dan jangan jadi pintar untuk menjadikan "tameng" untuk membenarkan sesuatu yang salah dari norma agama.
No comments:
Post a Comment